Selasa, 23 Oktober 2012

Tindak Anarkis TNI-AU


PERWIRA LANUD HAJAR WARTAWAN DAN WARGA SEKITAR 30 menit setelah kejadian, lokasi jatuhnya pesawat dijaga ketat oleh sekitar 50 personel Paskash TNI-AU dan PM Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru. Pengamanan oleh TNI-AU dianggap berlebihan. Saat mereka akan mensterilkan lokasi kejadian yang mulai dipadati warga, beberapa wartawan dan masyarakat yang mencoba mengabadikan gambar diusir dan dipukuli.” - Jawa pos Rabu, 17 Oktober 2012
Penguasa. . Oh. . Penguasa. .
Seakan tak punya hati dan belas kasih. Di negeri yang “katanya” makmur ini, orang yang punya jabatan dan banyak uang bisa semena-mena pada orang biasa. Wartawan dan warga sipil pun telah jadi korban dari perlakuan tidak mengenakan oleh personel Paskhas TNI-AU. Tak sadarkah mereka, jika mereka itu digaji oleh negara, sedangkan uang negara itupun dari pajak yang dibayarkan masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat yang mereka aniaya itulah yang membiayai hidup mereka dan keluarganya.
Tapi amat disayangkan, hanya karena ingin menjaga kesatuan korpsnya, mereka bertindak anarkis. Wartawan yang ingin meliput kejadian jatuhnya pesawat tempur diusir, dirampas kameranya, dan dipukuli. Padahal itu memang pekerjaan seorang wartawan, mencari berita hangat yang baru saja terjadi untuk diinformasikan kepada masyarakat luas. Namun tak ada toleran dari para personel Paskhas TNI-AU tesebut, langsung saja mereka main hakim sendiri, serasa mereka paling berkuasa di negeri ini.
Lebih disayangkan lagi, para personel Paskhas TNI-AU juga mengusir dan memukuli warga yang berada disekitar tempat kejadian jatuhnya pesawat tempur. Sungguh malang benar nasib warga tersebut, maksud hati ingin melihat lebih dekat, ingin mengetahui lebih jauh, dan ingin mengambil gambar dari kejadian itu, tapi juga dijadikan korban semena-menanya para personel Paskhas  TNI-AU.
Seharusnya jika mereka ingin menyeterilkan tempat kejadian jatuhnya pesawat tempur, bukan dengan cara mengusir dan memukuli seperti itu. Mereka juga punya wibawa, ada cara lain yang lebih terhormat sehingga tak sampai mencoreng kesatuan korps mereka. Mungkin bisa dengan cara memberi garis pembatas yang tidak boleh dilewati sembarang orang, menempatkan para personel Paskhas TNI-AU di setiap sudut tempat kejadian, memberi informasi yang jelas dan tegas kepada masyarakat maupun wartawan untuk tidak mendekat maupun mengambil gambar di sekitar tempat kejadian, karena masih dalam penyelidikan atau masih dalam status bahaya, dan cara-cara lainnya. Dengan begitu, TNI-AU mempunyai wibawa dan tetap terhormat di mata masyarakat Indonesia.

Selasa, 16 Oktober 2012

Kebangsaan yang Masih Dipertanyakan


      
            Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni berbagai macam suku bangsa, ras, dan agama. Walaupun perbedaan itu terdapat pada satu kesatuan yang biasa kita sebut NKRI, namun perbedaan itu benar-benar menjadi pembatas/pemisah diantara masyarakat Indonesia. Seperti pada kasus isu SARA yang belum lama ini beredar pada pemilu DKI Jakarta, yang melibatkan raja dangdut sekaligus seorang da’i yakni Rhoma Irama. Ketika raja dangdut tersebut berdakwah dan pada cerahmanya terdapat kata-kata yang menyindir salah satu calon wakil gubernur yang maju pada DKI 1, sehingga ada jama’ah yang tak terima lalu merekam dan menyebar luaskannya, sehingga muncullah isu SARA tersebut ke khalayak ramai.
            Sindiran yang dilontarkan itu menyinggung pada perbedaan agama yang dianut. Orang yang beragama Islam harusnya juga memilih pemimpin yang beragama Islam pula, bukannya yang berlainan agama. Isu SARA yang dianggap sepele itupun bisa-bisa menghancurkan negara Indonesia sendiri, bisa juga akan lebih banyak lagi konflik ataupun pemberontokan yang muncul hanya karena isu SARA. Namun akhirnya isu SARA tersebut bisa diselesaikan dengan waktu singkat dan tanpa kekerasan.
            Seharusnya kita yang sama-sama menyandang sebagai warga negara Indonesia tidak mempersoalkan perbedaan-perbedaan diantara kita. Kita harus bisa lebih menghargai dan menghormati perbedaan itu sebagai keberagaman yang harus kita jaga dan lestarikan. Karena di kehidupan sehari-hari kita saja sudah banyak perbedaan, seperti setiap individu yang satu dengan yang lain pasti mempunyai banyak perbedaan, dari fisik, sifat, pemikiran, dan lain-lainnya. Apalagi dalam suatu negara yang begitu besar dan dipisahkan oleh perairan, seperti halnya Indonesia, akan lebih banyak lagi perbedaan-perbedaan itu. Begitupun juga dalam memilih seorang pemimpin, kita tidak boleh membeda-bedakannya dan hanya mendasarkan pada persamaan suku bangsa, ras, ataupun agama, walau dalam kehidupan nyata masih banyak kita jumpai kasus yang seperti itu. Seharusnya kita memilih seorang pemimpin dengan melihat visi, misi, dan program/cara kerjanya nanti, sehingga benar-benar bisa memberi manfaat bagi yang dipimpinnya.
.

Senin, 08 Oktober 2012

Konsumerisme Menjadi Tantangan Pancasila


            Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih kita anut. Dalam butir-butir Pancasila sudah mencakup segala aspek kehidupan manusia. Jadi tak salah jika bangsa Indonesia menjunjung tinggi Pancasila. Seiring berjalannya waktu, semakin modernnya zaman, nilai-nilai Pancasila dalam diri masyarakat Indonesia seakan luntur. Cara pandang dan gaya hidupnya pun juga berubah. Tak ada lagi memandang negeri sendiri, budaya luar yang lebih menarik pun bisa langsung ditanamkan dalam diri, tanpa harus disaring terlebih dahulu.
            Salah satunya sifat konsumerisme, yaitu gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Harusnya sifat konsumerisme tidak boleh ada dan tumbuh dalam diri masyarakat, karena hanya akan membuat masyarakat boros. Tapi sifat inilah yang sekarang menghinggapi kebanyakan masyarakat Indonesia. Semua-semuanya diukur dengan kekayaan atau harta benda, sehingga ada gengsi yang muncul ketika membeli barang-barang dengan harga murah.
            Sifat konsumerisme juga menjadi tantangan untuk tetap menegakkan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dalam sila ke-2 disebutkan bahwa “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, namun keadilan di negeri ini sepertinya hanya milik orang-orang berduit. Mereka bisa membeli hukum di Indonesia dengan uang-uang mereka, sehingga keadilan seakan tak berpihak pada orang-orang miskin. Kemudian adab / tingkah laku masyarakat Indonesia yang konsumerisme mencontoh sifat orang-orang luar negeri, tidak mencerminkan kehidupan yang seperti diinginkan dalam Pancasila.
            Seharusnya Pancasila lebih ditanamkan lagi pada diri masyarakat Indonesia. Cara pandang, bersikap, dan berpikir masyarakat Indonesia harus didasarkan pada Pancasila. Sehingga dalam menerima dan mengadopsi budaya luar terlebih dahulu disaring dan dipilah, agar tak melenceng dari norma dan nilai yang berlaku di Indonesia. Jadi tak semena-mena langsung menanamkan budaya luar dalam diri begitu saja dan masyarakat Indonesia tetap mempunyai pribadi seperti pada sila-sila dalam Pancasila.